Wednesday 26 November 2008

Mamanda dari Kalimantan Selatan

1. Asal-Usul

Teater rakyat Mamanda merupakan kesenian asli Suku Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Teater ini telah dibawa oleh rombongan bangsawan Malaka pada tahun 1897 M. Kesenian tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Badamuluk. Seiring perkembangan zaman, sebutan untuk kesenian ini berkembang menjadi Bamanda atau Mamanda.

Istilah “Mamanda” berasal dari kata “mama” yang berarti “paman atau pakcik” dan kata “nda” sebagai morfem terikat yang berarti “terhormat”. Jika digabung, Mamanda berarti “paman yang terhormat”. Kata paman merupakan kata sapaan dalam sistem kekerabatan masyarakat Banjar. Sapaan ini juga berlaku untuk orang yang dianggap seusia atau sebaya dengan ayah atau orang tua. Kata ini juga sering digunakan oleh seorang sultan ketika menyapa mangkubumi atau wazirnya dengan sebutan “mamanda mangkubumi” atau “mamanda wazir”. Kata Mamanda juga sering digunakan dalam syair-syair Banjar.

Ada dua aliran dalam Mamanda, yaitu:
Aliran Batang Banyu. Aliran ini dipentaskan di perairan atau sungai sehingga disebut dengan istilah Mamanda Batang Banyu. Aliran yang juga disebut Mamanda Periuk dan berasal dari Margasari ini merupakan cikal bakal Mamanda.
Aliran Tubau (lahir pada tahun 1937 M). Aliran yang berasal dari Desa Tubau Rantau ini merupakan perkembangan baru dari Mamanda yang kini justru sangat terkenal. Aliran ini berkembang pesat di Kalimantan Selatan. Dalam pementasannya, cerita yang diangkat tidak bersumber dari syair atau hikayat, namun dikarang sendiri dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Struktur pertunjukannya masih seperti teater pada umumnya, yang dimulai dari ladon atau konom, sidang kerajaan, dan cerita. Pementasan aliran ini tidak mengutamakan musik atau tari, namun lebih mengutamakan bagaimana isi ceritanya. Aliran ini biasanya dipentaskan di daratan sehingga juga dikenal dengan sebutan Mamanda Batubau.

Teater Mamanda ternyata tidak hanya berkembang di Kalimantan Selatan, namun juga berkembang pesat di Kutai, Kalimantan Timur, Indonesia. Sebagaimana akan dibahas di bagian akhir, Mamanda juga berkembang di Kecamatan Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, Indonesia. Sebagai informasi singkat, perkembangan Mamanda di Tembilahan tidak terlepas dari sejarah eksodus sebagian masyarakat Banjar ke daerah itu.

2. Bentuk-Bentuk Kesenian Mamanda

Secara khusus, berikut ini dijelaskan ciri-ciri pakaian khas Banjar yang digunakan oleh para pemainnya, yaitu sebagai berikut:

1. Sultan
Sultan mengenakan seluar bersirit tepi, yaitu baju yang disulam dengan manik-manik. Di bagian tengah tutup kepala dihiasi dengan bulu burung putih sebagai mahkota sultan.

2. Perdana Menteri
Busana yang digunakan perdana menteri hampir sama dengan busana sultan. Hanya saja, perdana menteri tidak menggunakan mahkota, bahkan kadang tidak menggunakan tutup kepala sama sekali.

3. Wazir
Wazir biasanya mengenakan pakaian dalam yang lebih panjang dari pakaian luarnya. Ia mengenakan penutup kepala yang tidak bersegi, alias bulat.

4. Panglima Perang
Panglima perang mengenakan baju bermanik-manik, yang dilengkapi dengan senjata pedang. Di bahunya diselendangkan teratai yang terbuat dari benang emas. Tutup kepalanya berupa laung, bahkan kadang mengenakan topi polisi saja.

5. Harapan I dan Harapan II
Harapan I dan harapan II mengenakan baju dalam dan baju luar yang mirip dengan baju koboi, namun dengan ada sedikit manik-maniknya. Mereka berdua menggunakan senjata dan penutup kepala.

6. Putri
Putri mengenakan kebaya atau kadang baju kurung yang dilengkapi dengan mahkota di kepalanya.

7. Raja Jin
Raja jin biasanya mengenakan topeng. Jika tidak ada, ia juga bisa membedaki wajahnya dengan arang atau kapur yang dicampur denga pewarna merah kesumba.

8. Penyamun
Penyamun mengenakan sebuah topi yang mirip dengan topi dalam pementasan teater di Barat. Di samping itu, ia juga mengenakan kacamata berwarna hitam.

9. Anak Muda
Anak muda mengenakan kemeja putih dengan dasi kupu-kupu warna hitam.

Sumber: melayuonline.com

No comments: